Etika dalam dunia bisnis diperlukan untuk
menjaga hubungan baik dan fairness dalam dunia bisnis. Etika bisnis mencapai
status ilmiah dan akademis dengan identitas sendiri, pertama kali timbul di
Amerika Serikat pada tahun 1970-an. Untuk memahami perkembangan etika bisnis De
George membedakannya kepada lima periode, yaitu :
1. Situasi Dahulu
Pada awal sejarah filsafat, Plato,
Aristoteles, dan filsuf-filsuf Yunani lain menyelidiki bagaimana sebaiknya
mengatur kehidupan manusia bersama dalam negara dan membahas bagaimana
kehidupan ekonomi dan kegiatan niaga harus diatur. Pada masa ini masalah moral
disekitar ekonomi dan bisnis disoroti dari sudut pandang teologi.
2. Masa Peralihan : Tahun 1960-an
Pada saat ini terjadi perkembangan baru
yang dapat disebut dengan persiapan langsung bagi timbunlnya etika bisnis. Ditandai
pemberontakan terhadap kuasa dan otoritas di Amerika Serikat, revolusi
mahasiswa (di ibu kota Prancis), penolakan terhadap establishment (kemapanan). Pada
saat ini juga timbul anti konsumerisme. Hal ini memberi perhatian pada dunia
pendidikan khususnya manajemen, yaitu dengan memasukan mata kuliah baru ke
dalam kurikulum dengan nama busines and society and coorporate sosial
responsibility, walaupun masih menggunakan pendekatan keilmuan yang beragam
minus etika filosofis.
3. Etika Bisnis Lahir di AS : Tahun
1970-an
Terdapat dua faktor yang mendorong
kelahiran etika bisnis pada tahun 1970-an, yaitu :
I.
Sejumlah filsuf mulai terlibat dalam
memikirkan masalah-masalah etis di sekitar bisnis dan etika bisnis dianggap
sebagai suatu tanggapan tepat atas krisis moral yang sedang meliputi dunia
bisnis terjadinya krisis moral yang dialami oleh dunia bisnis
II.
Pada saat ini mereka bekerja sama
khususnya dengan ahli ekonomi dan manajemen dalam meneruskan tendensi etika
terapan. Norman E. Bowie menyebutkan bahwa kelahirn etika bisnis ini disebabkan
adanya kerja sama interdisipliner, yaitu pada konferensi perdana tentang etika
bisnis yang diselenggrakan di Universitas Kansan oleh Philosophi Departemen
bersama Colledge of Business pada bulan Noveber 1974.
4. Etika Bisnis Meluas ke Eropa :
Tahun 1980-an
Di Eropa Barat, etika bisnis sebagai ilmu
baru mulai berkembang kira-kira 10tahun kemudian. Hal ini pertama-tama ditandai
dengan semakin banyaknya perguruan tinggi di Eropa Barat yang mencantumkan mata
kuliah etika bisnis. Pada tahun 1987 didirikan pula European Ethics Nwork
(EBEN) yang bertujuan menjadi forum pertamuan antara akademisi dari univrsitas,
sekolah bisnis, para pengusaha dan wakil-wakil dari organisasi nasional dan
internasional.
5. Etika Bisnis menjadi Fenomena
Global : Tahun 1990-an
Etika bisnis telah hadir di Amerika Latin,
Asia, Eropa Timur, dan kawasan dunia lainnya. Di Jepang yang aktif melakukan
kajian etika bisnis adalah Institute of Moralogy pada Universitas Reitaku di
Kashiwa-Shi. Di India etika bisnis dipraktekan oleh manajemen center of human
values yang didirikan oleh dewan direksi dari Indian Institute of Manajemen di
Kalkutta tahun 1992. Telah didirikan Internasional Society for Business,
Economics, and Ethics (ISBEE) pada 25-28 Juli 1996 di Tokyo.
Di Idonesia sendiri pada beberapa perguruan
tinggi terutama pada program pascasarjana telah diajarkan mata kuliah etika
bisnis. Selain itu bermunculan pula organisasi-organisasi yang melakukan
pengkajian khusus tentang etika bisnis misalnya lembaga study dan pengembangan
etika usaha Indonesia (LSPEU Indonesia) di Jakarta.
Perkembangan Etika
sudah melewati beberapa fase, yaitu :
ETIKA
TEOLOGIS
Pada perkembangan generasi pengertian
pertama, semua sistem etika berasal dari sistem ajaran agama. Semua agama
mempunyai ajarannya sendiri-sendiri tentang nilai-nilai, sikap, dan perilaku
yang baik dan buruk sebagai pegangan hidup bagi para penganutnya. Karena itu,
jarang etika menyangkut pesan-pesan utama misi keagamaan semua agama, dan semua
tokoh agama atau ulama, pendeta, rahib, monk, dan semua pemimpin agama akrab
dengan ajaran etika itu. Semua rumah ibadah diisi dengan khutbah-khutbah
tentang ajaran moral dan etika keagamaan masing-masing.
Bagi agama-agama yang mempunyai kitab suci,
maka materi utama kitab-kitab suci itu juga adalah soal-soal yang berkaitan
dengan etika. Karena itu, perbincangan mengenai etika sering kali memang tidak
dapat dilepas dari ajaran-ajaran agama. Bahkan dalam islam dikatakan oleh Nabi
Muhammad SAW bahwa “Tidaklah aku diutus menjadi Rasul kecuali untuk tujuan
memperbaiki akhlaq manusia”.
ETIKA
ONTOLOGIS
Dalam perkembangan kedua, sistem etika itu
lama kelamaan juga dijadikan oleh para filosof dan agamawan sebagi objek kajian
ilmiah. Karena filsafat sangat berkembang pembahasannya mengenai soal-soal
etika dan perilaku manusia ini. Kerena itu, pada tingkat perkembangan
pengertian kedua, etika itu dapat dikatakan dilihat sebagi objek kajian ilmiah,
objek kajian filsafat. Inilah yang saya namakan sebagai tahap perkembangan yang
bersifat ontologis. Etika yang semula hanya dilihat sebagai doktrin-doktrin
ajaran agama, dikembangkan menjadi ‘ethics’ dalam pengertian sebagai ilmu yang
mempelajari sistem ajaran moral.
ETIKA
POSITIVIST
Dalam perkembangan selanjutnya, setidaknya
dimulai pada permulaan abad ke 20, orang mulai berpikir bahwa sistem etika itu
tidak cukup hanya dikaji dan dikhutbahkan secara abstrak dan bersifat umum,
tetapi diidealkan agar ditulis secara konkrit dan bersifat operasional. Kesadaran
mengenai pentingnya penulisan dalam suatu bentuk kodifikasi ini dapat dibandingkan
dengan perkembangn sejarah yang pernah dialami oleh sistem hukum pada abad
ke-10 di zaman khalifah Harun Al-Rasyid atau dengan muncul pandangan filsafat
Posivisme Auguste Comte pada abad ke 18 yang turut mempengaruhi pengertian
modern tentang hukum positif. Dalam perkembangan generasi ketiga ini, mulai
diidealkan terbentuknya sistem kode etika di bagai bidang organisai profesi dan
organisasi-organisasi publik. Bahkan sejak lama sudah banyak diantara
organisasi kemasyarakatan ataupun organisasi-organisasi profesi di Indonesia
sendiri, seperti ikatan Dokter Indonesia, dan lain-lain yang sejak dulu
mempunyai naskah Kode Etika Profesi. Dewasa ini, semua partai politik juga
mempunyai kode etik kepengurusan dan keanggotaan. Pegawai Negeri Sipil juga
memiliki kode etika PNS. Inilah taraf perkembangan positivist tentang sistem
etika dalam kehidupan publik. Namun, hampir semua kode etik yang dikenal dewasa
ini, hanya bersifat proforma. Adanya dan tiadanya tidak ada bedanya. Karena itu,
sekaran tiba saatnya berkembang kesadaran baru bahwa kode etik yang sudah ada itu harus dijalankan dan
ditegakkan sebagaimana mestinya.
ETIKA
FUNGSIONAL TERTUTUP
Tahap perkembangan generasi pengertian
etika yang terakhir itulah yang saya namakan sebagai tahap fungsional, yaitu
bahwa infra struktur kode etika itu disadari harus difungsikan dan ditegakkan
dengan sebaik-baiknya dalam praktik kehidupan bersama. Untuk itu, diperlukan
infrastruktur yang mencakup instrumen aturan kode etik dan perangkat
kelembagaan penegaknya, sehingga sistem etika itu dapat diharapkan benar-bena
bersifat fungsional. Dimana-mana di seluruh dunia, mulai muncul kesadaran yang
luas untuk mebangun infra struktur etik ini di lingkungan jabatan-jabatan
publik. Bahkan pada tahun 1996, sidang umum PBB merekomendasikan agar semua
negara anggota mambangun apa yang dinamakan “ethics infra-structurein public
offices” yang mencakup pengertian kode etik dan lembaga penegak kode etik.
Itu juga sebabnya maka di Eropa, Amerika,
dan negara-negara lain di seluruh penjuru dunia mengembangkan sistem kode etik
dan komisi penegak kode etik itu. Tidak terkecuali kita di Indonesia juga
mengadopsi ide itu juga dengan membentuk komisi Yudisial yang dirumuskan dalam
Pasal 24B UUD 1945 dalam rangka perubahan ketiga UUD 1945 pada tahun 2001. Bersamaan
dengan itu, kita juga membentuk badan kehormatan DPR, dan Badan Kehormatan DPD,
dan lain-lain untuk maksud membangun sistem etika bernegara. Pada tahun 2001,
MPR-RI juga mengesahkan ketetapan MPR no.VI tahun 2001 tentang Etika Kehidupan
Berbangsa.
ETIKA
FUNGSIONAL TERBUKA
Namun demikian, menurut Ketua Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu 2012-2017 ini, semua infra struktur kode etik
dan sistem kelembagaan penegakan etika tersebut di atas dapat dikatakan sama
sekali belum dikonstruksikan sebagai suatu sistem peradilan etika yang bersifat
independen dan terbuka sebagaimana layaknya sistem peradilan modern. Persoalan etika
untuk sebagian masih dipandang sebagai masalah private yang tidak semestinya
diperiksa secara terbuka. Karena itu, semua lembaga atau majelis penegak kode
etika selalu bekerja secara tertutup dan dianggap sebagai mekanisme kerja yang
bersifat internal di tiap-tiap organisai atau lingkungan jabatan-jabatan publik
yang terkait. Keseluruhan proses penegakan etika itu selam ini memang tidak dan
belum didesain sebagai suatu proses peradilan yang bersifat independen dan
terbuka.
Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar